Selamat petang, Ngrenehan
Minggu, 4 Mei 2014
Pada suatu Minggu sore, pukul 16.00, secara spontan aku melanjukan
motorku ke arah selatan Jogja, seorang diri. Sepertinya aku tengah dilanda
kerinduan yang hebat akan keindahan sunset di atas bentangan pantai. Waktu itu
jalanan kota cukup ramai. Perkiraanku, nanti, di selatan Jogja sana, juga akan
ramai, karena akan banyak wisatawan yang berpulang dari pantai.
Setelah 2 jam perjalanan, sampailah kedua roda motorku di sebuah pantai
yang bukan merupakan tujuan pertamaku. Aku hendak ke Sepanjang, tapi lupa
tempat. Alhasil, sampailah di pantai Ngrenehan. Mesin motor kumatikan di
tepiannya, tepat ketika adzan maghrib dikumandangkan. Ada dua hal yang
kusesalkan di sini. Sunset telah berpulang lebih dahulu sebelum aku sampai di
sini. Bahkan Ngrenehan pun tiada menyediakan teman. Sepi, tak ada wisatawan.
Hanya beberapa nelayan yang duduk di sekitaran.
Hari mulai gelap, dan aku harus segera kembali ke Jogja sebelum jalanan
asing tadi membunuhku dalam ketidaktahuan. Lagi-lagi perhitunganku meleset. Ini
belum larut malam, bahkan iqomah maghrib saja belum menyusul dikumandangkan.
Tetapi, jalanan sudah tak berpenghuni. Ini di tengah hutan, kanan kiriku hanya
dipenuhi pepohonan. Tak ada lampu, tak ada penerangan.
Papan penunjuk jalan begitu terbatas, terlebih tanpa dukungan pencahayaan
yang cukup, ah rasanya seperti berlari dengan menutup mata. Buta arah. Beruntung,
aku bertemu mobil plat H di sebuah persimpangan jalan. Kuikuti saja mobil itu
melaju, dengan kecepatan berapapun, asalkan aku punya petunjuk kembali ke kota.
30 menit berlalu, dan kami menemukan sebuah SPBU di kawasan Playen.
Sepertinya kami punya pemikiran yang sama, mengisi bahan bakar, sholat, lantas
melanjutkan perjalanan. Dan lagi, perkiraanku belum lagi benar. Ternyata itu
SPBU solar, tak ada bensin di sana. Mobil tadi langsung saja kembali ke jalan
dan melaju dengan kencangnya. Sementara aku, memutuskan untuk sholat terlebih
dahulu. Itu artinya, aku sudah kehilangan teman ke kota.
Setelah selesai, sebelum menyalakan mesin motor, kusempatkan ngobrol
sebentar dengan 2 petugas SPBU yang sedang duduk santai di dekat mushola.
Kutanyakan tentang masa depan kepulanganku.
“Mas, kalau mau ke Kota Wonosari masih jauh
ngga ya?”
“Mungkin sekitar 20 km.”
“Lewat jalan sini kan ya? Tapi
jalanannya sepi banget ngga sih, Mas?”
“Iya lurus aja Mba, ikutin jalan itu. Biasanya
sih sepi, tapi karena ini hari libur, mungkin ramai.”
Sedikit ada rasa lega ketika mereka bilang bahwa jalanan akan cukup
ramai. Segera ku berpamit dan turun kembali ke jalan. Satu menit, dua menit,
lima menit, 10 menit, dan tak ku jumpai sebuah kendaraan pun. Jalanan ini tidak
kalah mencekam dari yang pertama. Jalannya cukup lebar, seperti jalanan kota.
Tetapi lokasinya, tetap di tengah hutan. Tak ada penerangan sama sekali.
Gelap, pekat, sepi, sendiri.
Light will guide you home. Segera kupacu motorku secepat mungkin
dan mencari-cari cahaya di sekitar, namun tak jua ku temukan. Rasanya hampir
menyerah, melawan ketakutan ini. Air mata menetes begitu saja. Namun aku tetap
terus melaju.
Setelah 20 km di tengah hutan sendirian, akhirnya aku melihat cahaya. Itu
rumah penduduk. Sebentar lagi akan kutemui kehidupan nyata. Benar saja, aku
telah sampai di keramaian. Ada rasa lega, meskipun aku masih belum mengenali
tempat itu. Beberapa kali aku bertanya untuk memperoleh petunjuk jalan pulang.
Dan alhamdulillah, pukul 20.00 aku sudah bisa melemparkan tubuhku di atas kasur
dengan perasaan campur aduk, antara bahagia dan trauma.
Itu memang bukan kali pertamanya aku nekat mengaburkan diri ke tempat
yang ku inginkan. Namun perjalanan kali itu, cukup membunuh keangkuhanku selama
ini. Semenjak saat itu, aku berjanji untuk membawa serta seseorang ketika aku
kembali ke sana nanti.
Comments
Post a Comment